Thursday, September 27, 2012

Tugas sejarah

  1. Peistiwa Bandung Lautan Api. Jelaskan sebab terjadi peristiwa, jalannya peristiwa, beserta foto tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut
  2. Peristiwa Linggarjati. Jelaskan jalannya pelaksanaannya, wakil delegasi masing-masing negara, dan isi perundingan. Sertakan foto Perundingan
  3. Perundingan Renville. Jelaskan jalannya pelaksanaannya, anggota KTN, wakil delegasi masing-masing negara, dan isi perundingan. Sertakan Foto Perundingan
  4. Jelaskan dampak perundingan Renville (17 Januari 1948) bagi bangsa Belanda  dan dampak bagi Indonesia!
  5. Jelaskanlah faktor-faktor yang memaksa Belanda harus keluar dari Indonesia! Faktor dari dalam negeri Indonesia dan faktor dari luar negeri.
 1. Peristiwa Bandung Lautan Api
Bandung Lautan Api
Bagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia
Bandunglautanapi.jpg
Tanggal 23 Maret 1946
Lokasi Bandung
Hasil Tentara Rakyat Indonesia mundur dari Bandung
Pihak yang terlibat
 Indonesia  Inggris
Komandan
Muhammad Toha Brigadir MacDonald
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung[1] membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

Latar belakang
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.

Monumen Bandung lautan api
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta

Toko yang terlibat :
 Muhammad Toha atau Mohammad Toha (Bandung, 1927 - Bandung, 24 Maret 1946) adalah seorang komandan Barisan Rakjat Indonesia, sebuah kelompok milisi pejuang yang aktif dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia. Dia dikenal sebagai tokoh pahlawan dalam peristiwa Bandung Lautan Api di Kota Bandung, Indonesia tanggal 24 Maret 1946. Toha meninggal dalam kebakaran dalam misi penghancuran gudang amunisi milik Tentara Sekutu bersama rekannya, Ramdan, setelah meledakkan dinamit dalam gudang amunisi tersebut

Muhammad Toha

Muhammad Toha.jpg









 2. Perundingan Linggarjati
 Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 namun Belanda tetap menekan Indonesia dan ingin menancapkan kekuasaannya kembali. Ketegangan antara Indonesia dan Belanda yang semakin hebat mendorong Inggris yang merasa bertanggungjawab atas masuknya Belanda ke Indonesia, mencari jalan keluar untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Duta istimewa Inggris di Asia Tenggara, Lord Killearn, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta tanggal 26 Agustus 1946 dan menyodorkan diri menjadi perantara dalam perundingan Indonesia-Belanda.
Foto Perundingan Linggarjati
Sebelum Perundingan Linggarjati berlangsung pada tanggal 1 November 1946, Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Kepala Staf Letjen Urip Sumoharjo di Jakarta menandatangani gencatan senjata. Seterusnya tanggal 4 November 1946, pemerintah Belanda menyampaikan notanya kepada Staten General, bahwa Pemerintahan Republik Indonesia yang dipimpin Presiden Soekarno adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.

Isi perundingan Linggarjati
Walaupun begitu, Perundingan Linggarjati berlangsung juga pada tanggal 15 November 1946. Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Sebagai penengah adalah Lord Killearn dari Inggris. Isi Perundingan Linggarjati yaitu:
1. Pengakuan status de facto RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera oleh Belanda.
2. Pembentukan negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS).
3. Pembentukan Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala negara.
4. Pembentukan RIS dan Uni Indonesia-Belanda sebelum 1 Januari 1949
Wilayah RIS dalam kesepakatan tersebut mencakup daerah bekas Hindia Belanda yang terdiri atas: Republik Indonesia, Kalimantan, dan Timur Besar. Persetujuan tersebut dilaksanakan pada 15 November 1946 dan baru memperoleh ratifikasi dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 25 Februari 1947 yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Negara, Jakarta.
Hasil Perjanjian Linggarjati memiliki kelemahan dan keuntungan bagi Indonesia. Kelemahannya, bila ditinjau dari segi wilayah kekuasaan, daerah RI menjadi sempit. Tetapi bila ditinjau dari segi keuntungannya, kedudukan Indonesia di mata internasional semakin kuat karena banyak negara seperti Inggris, Amerika, dan negara-negara Arab mengakui kedaulatan negara RI. Hal ini tidak terlepas dari peran politik diplomasi Indonesia yang dilakukan oleh Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Sujatmoko, dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).


3. Perjanjian Renville

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Delegasi


Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.

Gencatan senjata

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.

Kesepakatan

Kesepakatan yang diambil dari Perjanjian Renville adalah sebagai berikut :

1. Disetujuinya pelaksanaan gencatan senjata
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah Indonesia di Yogyakarta

Pasca perjanjian

Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah.
Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar, seperti Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, kemudian mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).



  4. KERUGIAN INDONESIA AKIBAT PERJANJIAN RENVILLE
Berikut kerugian yang di dera oleh Republik Indonesia akibat dari hasil-hasil yang dicapai dalam Perjanjian Renville. Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.

Atas usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan Belanada di atas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasala dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah dikuasainya. Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville.

Perjanjian Renville ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. Adapun kerugian yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai berikut :
  • Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.
  • Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaannya karena grais Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.
  • Pihak republik Indonesia harus menarik seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan Belanda dan kantong-kantong gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.

Penandatanganan naskah perjanjian Renville menimbulkan akibat buruk bagi pemerintahan Republik Indonesia, antra lain sebagai berikut:
  • Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikururung oleh daerah-daerah kekuasaan belanda.
  • Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin Republik Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya cabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda.
  • Perekonomian Indonesia diblokade secara ketata oleh Belanda
  • Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan.
  • Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan Republik Indonesia, Belanda membentuk negara-negara boneka, seperti; negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Jawa Timur. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).***








5. Faktor-Faktor Belanda Harus Keluar Dari Indonesia








a. Faktor dari Dalam
1). Dari dalam negeri Indonesia, Belanda menyadari bahwa kekuatan militernya tidak cukup kuat untuk memaksa RI tunduk kepadanya.
2). Perang yang berkepanjangan mengakibatkan hancurnya perkebunan dan pabrik-pabrik Belanda. Untuk menghindarkan hal itu Belanda harus mengubah strateginya.
3). Belanda tidak mendapat dukungan politik dari dalam negeri Indonesia. Ketika membujuk Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadi pemimpin sebuah negara di Jawa maka ditolaknya.
4). Para pejuang Republik Indonesia terus melakukan perang gerilya dan serangan umum. b. Faktor dari Luar
PBB dan Amerika Serikat mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda. Amerika Serikat mengancam akan menghentikan bantuan pembangunan yang menjadi tumpuan perekonomian Belanda. Dengan adanya faktor-faktor di atas maka diselenggarakanlah KMB yang bermuara diakuinya kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 sehingga memaksa Belanda keluar dari bumi Indonesia.